Sejarah Bulan Suci Ramadhan - Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari
rukun Islam, artinya puasa Ramadhan merupakan salah satu tiangnya agama
Islam. Tiap-tiap Muslim yang beriman wajib melaksanakannya selama
sebulan penuh tiap tahunnya. Namun, tahukah bahwa jika dilihat dari segi
historisitasnya asal muasal puasa Ramadhan tidak langsung diperintahkan
begitu saja? Sebelumnya, puasa tidak langsung diperintahkan berpuasa
simulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Dalam sejarah,
puasa Ramadhan terdapat beberapa langkah sehingga menjadi suatu tataran
syariat yang mengikat bagi umat Muslim.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh
Mu’adz bin Jabal, sejarah puasa Ramadhan tidak muncul begitu saja. Dalam
riwayatnya, sebelum Nabi menerima perintah puasa Ramadhan, Nabi telah
melaksanakan puasa ‘Asyura dan puasa tiga hari setiap bulannya.
Secara singkat sejarah puasa Ramadhan sendiri mulai diwajibkan (untuk
melakukan ibadah puasa Ramadhan) pada tahun ke 2 Hijriyah atau 624
Masehi setelah Nabi hijrah ke Madinah, bersamaan dengan disyariatkannya
salat ied, zakat fitrah, dan kurban. Hal ini berarti, bahwa
puasa adalah suatu ibadah yang bernilai universal dan ibadah yang
disempurnakan dari umat-umat terdahulu.
Sejarah puasa Ramadhan tidak lepas dari waktu pelaksaan selama
diwajibkan berpuasa. Menurut Imam As-Sawi dalam kitab tafsirnya, bahwa
kewajiban puasa yang ditetapkan oleh Allah pada bulan Ramadhan dilakukan
selama sebulan penuh. Hal itu mengacu pada tafsiran kata ma’dudat pada
awalan Q.S al-Baqarah: 188, yaitu kurang dari 40. Hal itu karena,
kebiasaan orang-orang Arab masa lalu jika menggunakan kata ma’dudat maka
yang dimaksud adalah kurang dari empat puluh. Sedangkan menurut Ali
As-Shabuni, tujuan dari hari-hari yang ditentukan tersebut yaitu sebagai
keringanan dan rahmat bagi umat Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, Allah
tidak mewajibkan puasa kepada umat Muhammad sepanjang waktu.
Pada awal-awal diperintahkan ibadah
puasa Ramadhan, tata cara berpuasa pada awal-awal diwajibkannya berbeda
dengan sekarang, seperti larangan untuk makan, minum, dan bersetubuh
dengan istri pada malam hari, larangan tidur sebelum berbuka jika itu
dilanggar tidak boleh berbuka sampai tiba waktu berbuka lagi. Hal itu
sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang mengalami serupa yaitu sahabat
Qais Sharmah al-Anshary yang pingsan pada siang harinya karena tertidur
sebelum berbuka pada hari sebelumnya. Akhirnya, ia harus menahan makan
dan minum seharian lagi.
Dalam riwayat lain, masih dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari, sahabat Umar bin Khattab juga mengalami
demikian. Bahkan, ketika ia tertidur disamping istrinya pada malam
harinya sahabat Umar pun mendatangi istrinya lalu menunaikan hajatnya
karena tidak kuasa menahan hasratnya. Setelah selesai melakukan
hajatnya, Umar pun merasa bersalah pada dirinya mengapa ia tidak kuat
untuk menahan keinginannya itu. Ia tidak bisa tidur dua sampai tiga
hari, sampai akhirnya ia ceritakan pada Nabi. Atas kejadian tersebut,
Nabi menjawab dengan firman Allah Q.S. al-Baqarah: 187, sehingga Allah
memberikan maaf dengan diperbolehkannya hal itu.
أحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu …,” (Q.S. al-Baqarah: 187).
Para sahabat semakin gembira dengan
adanya dispensasi berkurangnya waktu puasa, yakni dihapuskannya puasa
pada malam hari setelah berbuka. Maka setelah itu, syariat puasa dan
aturan-aturan puasa Ramadhan berlaku seperti yang kita rasakan saat ini.
Seperti yang difirmankan oleh Allah Swt., yaitu membatasi waktu
berpuasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari:
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
… Dan, makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar …,” (Q.S. al-Baqarah: 187).
Itulah sejarah puasa ramadhan yang harus
kita ketahui. Sungguh dari hikmah sejarah puasa ramadhan itu, kita bisa
merasakan kemudahan dari Allah untuk semua hamba-Nya beribadah
kepada-Nya sekaligus merupakan kekhususan umat Nabi Muhammad tersendiri.
Oleh karena itu, harus senantiasa bersyukur atas karuni-Nya kepada kita
umat Muslim. Demikianlah penuturan penulis, semoga bermanfaat.
Wallahualam bisawab.
No comments:
Post a Comment